Minggu, 19 Desember 2010

Wanita Tua di Rumah Sakit

Aku nggak tau siapa wanita tua itu. Aku bahkan tak tau siapa nama wanita itu. Tapi mataku tak lepas darinya. Ingin rasanya aku memeluknya. Ingin rasa ku membantunya menghilangkan kesedihan itu. Matanya yang teduh. Senyumya yang selalu mengembang. Menyapa setiap oarang yang datang silih beganti. Disela-sela kesibukanku hari ini bayangan wanita tua itu terus menghantuiku.

Mataku panas dan pandangan ku mulai kabur tatkala sosok wanita tua itu menjadi berubah ibuku. Tergambar paras ayu ibuku tampak mulai keriput. Sosok bijaknya tak luntur dimakan usia. Kasih sayangnya padaku yang selalu ada setiap masa. Dari aku yang tak bisa apa-apa menjadi aku yang seperti ini.

“ Dek,,,, ada pasien ni, tolong didaftar dulu ya.” Tiba-tiba suara lembut nan tegas menyentaku. Menyadarkan dari lamunan.

“ iya mbak.” Jawabku patuh. Maklum mahasiswa praktik. Jalani aja yang diperintahkan daripada kena marah. He.. cara mahasiswa cari aman.

Aku agak melupakan sosok wanita tua itu karena kesibukan ini. Luar biasa. Baru tau aku kalau di instansi kesehatan justru ramai hari minggu gini. Badan rasanya jadi pegal semua, dari pagi sampai jam 11 gini sama sekali belum istirahat. Bahkan meski cuma sekedar duduk aja nggak bisa. Nasib banget. Maklum yang shift pagi cuma ada 2 mbak-mbak yang udah praktik disini. Dan cuma ada satu mahasiswa praktik yaitu aku. Hari minggu yang sangat melelahkan ternyata. Padahal dari kemarin-kemarin kerjaan rutin jam segini adalah ngeliatin mbak-mbak pada ngerumpi. Abis, mau ikutan ngrumpi bingung. Nggak nyambung ngomongnya. Dan obrolanya pun cuma seputar cowok, gosip artis yang lagi heboh-hebohya pamer kemesraan. Padahal masih punya ikatan pernikahan. Atau bahkan video porno yang marak dilakukan artis. Hm.. obrolan nggak jelas yang dijumpai dimanapun dan kapan pun. Dan aku terjebak diantara mereka. Ya sudahlah. Ambil baiknya aja. ( apa baiknya ya? Kayaknya nggak ada)

“ dek, tolongin sini. Ada bayi ngompol. Tolong ganti popoknya ya. Kalau sudah selesai tolong bikinkan susu dan sekalian diminumkan ya.”
tiba-tiba aku yang baru saja keluar dari ruang periksa dipanggil dan disuruhnya. Belum juga sempat mau duduk sejenak. Aku nurut sambil menarik nafas panjang.

“Sabar.” Batinku.

agak kesal sebenarnya. Tapi begitu melihat wajah inocence si bayi baru lahir. Kekesalanku musnah seketika. Wajah tanpa dosa nan imut-imut. Kalau melihatnya membuat hati jadi tenang. Menggati kelelahanku dan juga bau ompolnya. Hehe.

“adeknya lucu sekali ya?” tiba-tiba.

wanita tua itu tampak bahagia sekali melihat bayi yang ada bersamaku. Wajahnya sendu. Sorot matanya tampak berbinar sedih. Aku tiba-tiba sesak nafas. Dadaku terasa sakit melihat rona mukanya yang sendu.

“hehe.. iya mbah. Lucu banget. Saya tinggal dulu ya mbah. Mau bikin minum untuk si adek bayi.” Sahutku. Aku menghindar berlama-lama denganya. Takut kelenjar lakrimasiku beraksi.

“ ya Allah kuatin aku.” Batinku.
senang juga yah kasih minum susu si bayi. Lucu liatin caranya minum.

“kasian kau dek, dilahirkan disini, nggak dapat hak kamu untuk dapat asi eksklusif. Si bayi masih asik menghabiskan tiap ml susu di dotnya.

“boleh saya gendong mbak adeknya. Saya kepengin gendong bayi itu. Habis lucu sekali. Biar saya yang minumkan susunya, apakah diijinkan? Tapi kalau tidak ya tidak apa-apa.” Tiba-tiba wanita tua itu menghapiriku lagi. Dengan takut-takut beliau mengatakan permintaanya.
Aku tersenyum tulus.

“boleh kok mbah.” jawabku sembari memberikan bayi mungil itu ke pangkuanya. Rona bahagia memenuhi seluruh muka keriputnya.

kuamati setiap yang dilakukannya. Setiap belaian kasih sayang tulus seorang nenek yang begitu merindukan cucunya. Dengan sepenuh hati diberinya susu itu. Dibelainya sepenuh hati. Aku senyum-senyum melihatnya.

“ maaf mbah, ini anak saya ya? Sudahkah selesai minumnya?” tiba-tiba ibu si bayi yang baru bisa sedikit bermobilisasi menghampiri. Rupanya sudah tak sabar ingin menggendong anak keduanya itu.

Gurat kekecewaan tampak muncul di wajah wanita tua itu. Rasa kehilangan. Rasa ingin memiliki. Tapi dia tersenyum. Bermain dengan bayi yang ada dipangkuan ibunya. Meski pelupuk matanya berembun, canda tawanya berusaha dia lakukan untuk melihat senyum bayi mungil itu. Dadaku serasa sesak melihatnya. Aku sudah tidak kuat. Dadaku sakit. Hatiku serasa di iris-iris melihatnya.

Tanpa pamitan aku segera ke kamar mandi. Kutumpahkan tangisan yang sedari awal kutahan. Tak terbayang perih hatinya, wanita tua itu sudah senja. Di usianya yang tak muda lagi, ia hanya tinggal bersama putri tunggalnya yang ditinggal suami bekerja di kalimantan. Sebelum ajal menjemput, aku tau. Perasaan dan keinginanya untuk menimang cucu pertamanya. Keinginan untuk dipanggil nenek. Sudah dua kali ini juga ia gagal dipanggil nenek. Putri semata wayangnya keguguran untuk kedua kalinya. Tak terbayang pedih di hati wanita tua itu. Luka yang begitu menusuk terlalu dalam. Ya Allah cobaan apa ini? Sementara di luar sana banyak bayi-bayi diambil hak hidupnya meski masih dalam kandungan. Digugurkan. Kenapa tak engkau berikan saja pada gadis muda yang tergolek lemah setelah di kuretase itu? Aku masih tak mengerti.
Setelah perasaaanku cukup lega, aku kembali menjalakan tugasku melayani orang-orang sakit ini sebaik-baiknya. Aku harap dengan cepat mereka sembuh. Sehingga dengan cepat pula aku bisa melihat senyum keluarga mereka. Tiba-tiba dari kejauhan tampak wanita itu berjalan sempoyongan.

“dari mana nek?” sapaku padanya.

“ini habis beli bakso, kasian anak saya pengin. Tidak apa-apa kan ya mbak kalau makan ini?” tanyanya polos.

“luar biasa, begitu baiknya ia pada putrinya, meski dilanda cobaan besar. Itulah seorang ibu. Kasihnya sepanjang masa” batinku
Aku tersenyum sambil mengangguk. Ia pun berlalu. Wanita tua yang tangguh. Meski cobaan menimpanya ketulusannya, semangatnya, kasih sayangnya dan keikhlasanya untuk menerima semua cobaan dari-Nya. Aku jadi ingat ibuku. Wanita yang paling tangguh yang pernah aku kenal. Engkau pasti jauh lebih tangguh dari wanita tua itu. Alangkah berdosanya jika aku tak berbakti padamu ibu.

“ ibu yang jauh disana, maafkan segala dosa dan salahku padamu ibu. Engkaulah bidadariku.” ujarku dalam hati.

0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Template by:

Free Blog Templates